Reuni: Antara Senang dan Benci
Reuni
“Wah tis, dateng juga lo
ternyata,” ujar Febianto yang akrab disapa Febi diseberang sana.
Tampak dari kejauhan ia menyapaku
hangat. Tak lama ia menggenggam tanganku dengan wajah girang, seakan
benar-benar tak menyangka aku akan datang. Kemudian sapaan lainnya bersautan
menyambutku. Aku juga tak menyangka akhirnya aku memberanikan diri untuk
datang ke reuni angkatan jurusanku. Tak ku sangka aku akan bertemu Seno lagi,
mantanku.
“wah tambah cantik loh si Titisan
ini!”
Febi selalu memanggilku dengan
nama itu, padahal dari kecil aku tidak pernah dipanggi Titi, Titis, apalagi
Titisan. Namaku Tisani Fadila, biasa dipanggil Tisa sejak kecil. Awal perkenalan
Mahasiswa dulu, sejak Seno salah mendengar namaku, panggilanku jadi berubah
menjadi Titis. Aku sangat mengingat bagaimana awal pertemuan kita pada saat
itu, seakan aku jadi flash back mengingat memori yang sangat sulit di lupakan
saat itu.
“Ya kamu! Siapa namanya?” kata
Seno yang kala itu menjadi ketua angkatan jurusan 2015.
Aku terdiam, karena aku memang
sedang melamun memikirkan pacarku saat itu yang tak kunjung membalas chatku
sejak pagi.
“Hai semua” sapa ku agak canggung dimalam petemuan perkenalan. Aku sangat kaget!
“Nama Saya Tisani Fa...” ucapku yang belom kelar ngomong sudah dipotong.
“Titin?” ujar seno.
“Tisani!” kataku mengulang.
“oh, Titis, oke terus...,” saut seno
Entahlah aku memilih tak perduli dan lanjut melamum memikirkan Sadam, pacarku saat itu.
Sejak saat itu seangkatan panggil aku Titis, aku tidak masalah dengan hal itu, lagi pula aku juga malas menjelaskannya. Aku tipe yang kurang bergaul memang, masa SMA saja aku hanya punya dua orang sahabat Vika dan Agis. Sadam juga dikenalin sama Agis, mereka sepupuan.
Malam itu aku benar-benar tidak mendapat jawaban apapun dari Sadam, padahal sudah chat puluhan kali dan telpon belasan kali tapi gak ada
balasan apa pun. Malam itu, setelah acara pengenalan kampus, aku pun pulang dengan
lesu ke kostan.
“Titis!” tegur seseorang dari
belakang sambil menepuk punggungku pelan.
“eh iya?” jawabku sambil menoleh,
itu si Dia!.
“kamu ngekos tis?” tanyanya sok
akrab.
“hm iya”
“wah sama dong, kosmu yang mana?
“itu” jawab ku sambil menunjuk
datar sebuah gedung dengan cat coklat yang mulai pudar warnanya.
“wah, kayanya serem ya kosanmu
hehe. Emang rumahmu jauh ya sampe ngekos?” sautnya seakan mencairkan suasana.
Jujur kala itu aku sangat amat
malas menanggapinya. Aku galau, kacau balau. Apa dia tak lihat mukaku sudah kusut
begini? Dia terus saja bertanya ini itu. Kami berbicara sambil berjalan kearah
kosanku. Sempat terpikir sampai kapan dia akan mengikutiku?
“iya,” jawab ku singkat, aku
bener-benar lelah menjawabnya.
“oke kalo gitu, Titis sebenarnya
aku tau kamu lagi banyak pikiran, sangat terlihat jelas dari wajahmu. Aku harap
kamu segera menemukan solusi dari masalahmu. Tapi maaf nih kalo dari tadi aku
nanya kamu ngekos atau engga dan sebagainya. Sorry banget, soalnya itu
udah jadi tugasku mendata mahasiswa angkatan kita, karena aku ketua angkatan.
Dan sekedar informasi aja sih, namaku Seno. Udah gitu aja tis, makasih ya aku
balik dulu kosanku udah kelewat hehe. Selamat malam Titis!,” jelasnya panjang
lebar.
Aku jadi malu dan agak gak enak
ke Seno, pasti dia juga malas berbicara denganku yang amat dingin padanya.
Keesokan paginya, aku datang ke
kampus untuk mengikuti kelas pertamaku. Kebetulan jurusanku itu sedikit, jadi
hanya ada satu kelas sejurusan. Sampai pagi ini pun, Sadam tak kunjung balas
chatku. Apa aku berbuat salah ya? Atau ada kata-kataku yang menyakiti hatinya?
Memang apa yang ku katakan? Kenapa dia marah? Padahal kan seminggu lagi
3 tahun masa pacaran kita. Pagi itu pun aku sibukan diri memikirkan Sadam.
“eh Titis!” saut Seno yang
membuyarkan semua pikiranku.
“hai, Seno selamat pagi!”
jawabku.
Apa? Selamat pagi kenapa aku
bilang begitu? Apa aku sudah tidak tahu malu!
“wah jadi ini yang namanya
Titis-titisan itu ya. Halo Titis aku Febianto panggila aja Febi, oke!”
Aku lihat setelah Febi menyapaku, Seno menyikut lengan Febi, apa ada hal yang mereka bicarakan ya dibelakangku. Entahlah, aku juga tidak berniat terkenal dikampus ini. Tak lama mereka pun pergi.
Siangnya, saat istirahat aku ke
kantin sendirian ya karena aku memang tidak pandai bergaul jadi memang tidak
ada teman. Tapi tiba tiba...
“hai Titis!” dia lagi, si Seno.
“hai,” jawabku singkat.
“feb, yan, tih, rin, sini!”
Ada apa dengannya, Seno panggil
semua temannya kesini, udah tau aku sedang ingin sendiri.
“Tis, pasti kamu belum kenal
mereka kan?” tanya seno.
“kalo aku Febi yang tadi sekelas
Sejarah Kearsipan,” saut Febi.
“ya kita semua kan sekelas tadi
feb, gimana engga angkatan di jurusan kita kan emang sekelas doang ya gak?
Hahaha,” itu Karin, menurutku dia yang paling cantik di angkatan Kearsipan 2015.
“oke, jadi ini Febi lo udah
kenal, yang ini Karin, Ratih, dan yang ini Tian,” lanjut Seno memperkenalkan
teman-temannya yang sebenarnya aku sudah tau nama mereka, gimana engga kelompok
mereka yang paling menonjol di angkatan kita. Angkatan Kearsipan 2015 emang
isinya Cuma 45 orang dan ya kami semua dijadikan satu kelas.
“lo pasti Titis kan?” tanya Ratih
yang anaknya bisa ku bilang sedikit cuek.
Balasanku hanya menggangung saja.
Aku benar-benar tidak tertarik jika harus berhadapan dengan mereka terus, aku
hanya ingin fokus kuliah dan buru-buru lulus. Padahal saat itu hari pertama
kuliah, hm waktu berjalan sangat lambat saat itu. Mereka terus mengobrol
dihadapanku dan sesekali menanyakan hal-hal mengenai SMA-ku. Tanpa terasa waktu
masuk kelas selanjutnya pun tiba. Mereka terus saja mendekatiku sampai akhirnya aku menuju kelas bersama mereka.
Hari-hari pun terus berlanjut dan mereka, terus saja mengikutiku kesana dan kemari, bahkan saat aku sedang tidak ingin berada dimana pun tanganku terus ditarik Karin. Setiap pagi aku selalu bareng Seno. Dan saat pulang aku diajak nongkrong bareng mereka, tentunya secara terpaksa.
Sesekali Kami untuk mengerjakan tugas dan bercerita ini itu. Tak terasa waktu ku
lewati bersama mereka hingga seminggu ini. Aku tak menyangka waktu yang ku
habiskan bersama mereka cukup menyita pikiranku pada saat itu yang sedang kacau
memikirkan Sadam yang sudah 10 hari tidak membalas chat dariku. Aku mengira
bahwa itu artinya kita sudah selesai.
Aku sudah tak peduli lagi, ku
harap dia bahagia dan aku bisa tetep melanjutkan kehidupan ku yang baru di
Universitasku. Ibu dan Ayahku Cuma berharap aku bisa memiliki gelar Sarjana,
dan aku harus mewujudkannya. Baiklah, Aku satu-satunya harapan keluarga karena
kakak laki-lakiku merantau ke Kota Padang hanya untuk mengejar cintanya. Entahlah
bagaimana kabarnya saat ini, aku hanya berharap dia dalam keadaan yang baik dan
masih mengingat Ibu dan Ayah. Keluargaku pun terbiasa dengan kehadiran satu
orang anak saja.
Pagi itu, tak biasanya Seno
menungguku diujung gang kosannya, karena biasanya dia selalu menegurku dari
belakang. Ia menggunakan kemeja dengan lengan panjang yang ia gulung hingga
ke sikut. Entahlah tapi aku sangat menyukai gaya itu. Ia tengah menunduk
seakan memikirkan sesuatu, tak biasanya
dia begitu.
“hei Seno!,” sapaku agak
semangat, tumben aku begini.
“hai Titis, kayanya kamu lagi
senang ya?”
Hah? Apakah aku terlalu
bersemangat ya tadi memanggilnya, jadi canggung aku dibuatnya.
“oh engga juga sih”
Kami pun berjalan bersama menuju
kampus tanpa membicarakan apapun. Ia yang biasanya sangat banyak berbicara kini
hanya terdiam sesekali melihat kedepan lalu kembali menunduk. Aku semakin yakin
bahwa ada sesuatu yang menghantui pikirannya kala itu.
Akhirnya setibanya didepan gedung
fakultas kami, sembari menaiki anak tangga aku pun memberanikan diri untuk
bertanya pada Seno.
“sen...”
“wey! Seno, Titis,” tegur Febi
secara tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya.
“yuk yuk udah telat kita, pak Guntur
kalo masuk agak cepet diye” lanjut Febi.
Ya kami pun jadi ikut
terburu-buru karena Febi, dan aku pun tidak jadi bertanya ada masalah apa
dengan Seno yang sikapnya agak berubah pagi ini. Kelas pun berjalan seperti
biasa, selama kelas aku jadi memperhatikan Seno, tapi yang ku lihat dia
baik-baik saja.
“Tis, ngeliatin siapa sih?,” ujar
Karin.
“hah? Engga ini lagi ngeliatin
pak Guntur ngejelasin”
Duh aku pasti ketauan dari tadi
memperhatikan Seno, lagian kenapa sih aku ngeliatin dia. Seusai kelas, kami
berlima ke kantin bersama-sama. Dan ya sesekali aku memperhatikan Seno,
tampaknya dia baik-baik saja. Kemudian kelas berikutnya dimulai, hingga tiba
saatnya pulang anak-anak memiliki kegiatan masing-masing, aku belum menentukan
akan masuk UKM atau organisasi apapun, dan ya aku pun memutuskan untuk pulang
saja mengerjakan tugas dari Pak Guntur.
“Tis, pulang ya? Hati-hati yaa
gua cabut dulu,” Seno!
“iya sen, semangat yaa!”
Tiba-tiba hatiku merasa senang
dan lega, tadinya aku khawatir jika Seno marah padaku. Tapi melihatnya
menegurku apalagi memberi perhatian kecil seperti itu membuat pikiranku menjadi
tenang dan bahagia. Ya aku sesenang itu. Tapi apa artinya ini?
-
To be countinue -
Komentar
Posting Komentar